Yeeess!! Saatnya pulang.
Aku memekik kegirangan dalam hati. Tanda waktu sudah memberikan kode jam kerja hari ini telah berakhir.
Aku memang sedang bersemangat untuk segera pulang. Hari ini ayahku datang. Tentu aku ingin segera menyiapkan makan siang untuk ayah. Menu sederhana. Seperti sederhananya keinginan Beliau.
"Buatkan sayur asem saja. Lauknya terserah." begitu pesannya tadi pagi.
Ayahku tentu sangat mengenalku. Anak perempuannya yang tak pandai memasak. Anak sulungnya yang lebih sering membantunya berbenah rumah daripada membantu ibunya di dapur. Makanya permintaannya nggak pernah ribet.
***
"In, tolong ambilkan timba sekalian cetoknya ya. Ayah tunggu di depan," kata ayah. Masih kuingat betul, permintaan tolong khas ayah yang jadi penanda bagiku bahwa tiba saatnya berbenah rumah.
Tiap hari Minggu, ayah selalu punya acara. Ada saja yang dibenahi. Dari halaman rumah sampai dapur. Dari alat rumah tangga sampai barang elektronika. Kebiasaan ayah yang enggan melewatkan waktu tanpa menghasilkan sesuatu banyak mempengaruhiku. Waktuku penuh dengan kegiatan. Akhirnya aku menjadwalkan kegiatan harianku layaknya jadwal pelajaran. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Waktu bermain? Tentu aku punya. Aku bermain dengan teman sebaya saat Sabtu malam. Lepas isya', kami bermain di sekitar rumah. Main petak umpet dan kejar-kejaran jadi permainan favorit kami. Malam hari?! Kenapa tidak? Malah lebih seru. Kenapa Sabtu malam? Kok nggak hari Minggu? Pertama karena tidak ada jadwal belajar. Kedua karena Minggu adalah hari kerja.
Seperti hari Minggu itu. Masih kuingat nasib pohon kelapa depan rumah. Akibat program ayah yang berbenah tiap minggu, tanaman kelapa hibrida itu, sudah berpindah tempat 3 kali. Dan akhirnya menetap di luar pagar dekat jalan.
"Biar ganti suasana," kata ayah waktu itu.
Lain waktu, ayah mengajakku merenovasi ruang pesholatan. Kami butuh kamar tidur yang lebih luas. Ayah memutuskan untuk mempersempit ruang pesholatan yang bersebelahan dengan kamar itu.
"Kalau sudah dirobohkan dindingnya, kamu pisahkan batu bata dari semennya. Bongkaran semennya untuk urukan lantai pesholatan biar lebih tinggi. Terus kamu buat campuran pasir dan semen. Biar ayah yang meratakan urukannya." kata Ayah memberi petunjuk. Ya Allah... ternyata begini rasanya mengaduk pasir dan semen. Tak terbayangkan sakitnya punggungku waktu mengaduk campuran itu. Ah...terbayang Cak Imam yang bekerja sebagai kuli bangunan. Pasti tak jauh beda rasa pegal di punggungnya dengan yang kurasakan saat itu. Bahkan mungkin lebih berat.
Sekalipun aku perempuan, ayah tak segan-segan mengajariku pekerjaan laki-laki. Kata Ayah, tidak menutup kemungkinan suatu saat aku memerlukan keterampilan ini. Tidak ada salahnya bisa pekerjaan laki-laki. Banyak ilmu yang kuperoleh. Dari ayah aku belajar pertukangan. Kadang jadi kuli bangunan, kadang jadi tukang amplas furnitur atau tukang cat rumah. Aku juga belajar otomotif. Sekedar memeriksa busi atau membersihkan karburator. Biar motor ayah tidak mudah macet. Maklumlah, motor kami dulu bukan motor keluaran baru. Jadi kami harus rajin merawatnya. Aku juga belajar menggunakan mesin jahit. Kebetulan ayah punya mesin jahit. Kenang-kenangan saat pindah tugas. Alhasil, akupun nekat menjahit seragam SMA ku sendiri. Meskipun tanpa modal ilmu menjahit yang cukup. Tapi lumayanlah bisa dipakai untuk sekolah. Oh ya! Menjahit sepatu. Keterampilan yang sering kupakai saat sudah dewasa. Ketika aku mulai bekerja, sepatuku kujahit sendiri. Begitu juga saat anak pertamaku mulai bersekolah, kujahit sendiri sepatunya. Dan masih banyak lagi ilmu yang kuperoleh dari ayah. Dari Beliaulah aku banyak mengenal teknis kerja, yang saat ini sering kugunakan untuk menyelesaikan tugas-tugasku.
***
Hm...tak terasa sayur asem pesanan ayah sudah masak. Kusajikan bersama telur rebus penyet sambal kemiri. Pasti ayah suka. "Maaf Yah, makan siangnya terlambat." kataku sambil meletakkan masakan itu di meja makan. Seperti biasa Ayah menjawab sambil tersenyum,"Tidak apa-apa."
***
#Makan siang yang sempurna.
#Saat istimewa
Wah ... anak serba bisa. Orang tua yang luar biasa mendidik anaknya. Semua bidang dilahap habis. Akhirnya, lahirlah wanita perkasa tanpa kehilangan segi keibuannya.
BalasHapusaamiin...terima kasih Bunda Ros. Ilmu selalu berguna untuk saat ini dan kemudian hari
HapusLuar biasa pengalamannya,Bu. Bisa bikin adukan semen juga. Hebat didikan ayahnya...
BalasHapusalhamdulillah Ambu, karena saya anak pertama akhirnya mendapat kesempatan belajar lebih banyak dari adik-adik ^-^
HapusBahagianyabisa swdekat ini dengan Ayah,Bisa memasak untuk beliau adalah hal teristimewa. Salam seahat untuk Ayah. Belajar banyak hal dari sosok Ayah dambaan.
BalasHapusalhamdulillah, masih diberikan kesempatan untuk melewatkan waktu bersama Beliau. Insyaallaah salamnya disampaikan ^_^
HapusAyah hebat... Anak hebat...
BalasHapusAlhamdulillah...terima kasih Mas Indra
Hapus